Tari tradisional Lulo tetap menjadi hiburan masyarakat Sultra. Ditengah maraknya hiburan modern, Lulo terus saja tumbuh mengikuti sela lajur dunia modern tanpa kehilangan makna.
Budaya atau kesenian Lulo yang merupakan kesenian daerah suku Tolaki telah menjadi khasanah yang memperkaya budaya Sulawesi Tenggara. Sebagai kesenian daerah, Lulo juga telah menjadi salah satu atribut budaya yang membedakan Sultra dengan daerah lain. Kesenian Lulo biasanya dilakukan masyarakat Tolaki untuk merayakan hajatan atau sukuran misalnya acara panen, pesta adat, maupun pesta kawin dan hajatan lainnya. Saling bergenggaman tangan, melangkahkan kaki dua kali kekiri, dua kali kekanan, kedepan dan belakang sambil menghentakkan kaki mengikuti irama musik memberikan nilai seni tersendiri bagi mereka yang melakukannya.
Seiring perkembangan waktu, kesenian lulo sendiri ikut mengalami perkembangan. Hadirnya hiburan lain dalam masyarakat modern seperti diskotik, pub, dan konser-konser musik dengan show artis-artis lokal maupun nasional tidak membuat kesenian Lulo ditinggalkan masyarakat. Melainkan lulo semakin saja tumbuh subur dengan iklimnya sendiri bahkan dengan gaya dan caranya yang khas.
Disamping itu, selain fungsinya sebagai tarian yang bisa mewadahi muda-mudi untuk bisa saling berkenalan, dalam tarian lulo etika pun diberlakukan. Misalnya saja posisi tangan saat bergandengan tangan, untuk pria posisi telapak tangan di bawah menopang tangan wanita. Tidak hanya wujud simbolisasi, namun lebih kepada filosofi dari kedudukan, peran, etika kaum pria dan wanita dalam kehidupan sehari-hari.
Lulo dalam Filosofi
Tarian tradisional “lulo” secara filosofis memiliki makna yang besar. Menurut M. Oktrisman Balagi Kepala Bidang Pesona Seni Budaya Badan Pariwisata dan Kebudayaan Sultra, tarian lulo menggambarkan kebersamaan masyarakat suku Tolaki dalam keberagaman dengan meninggalkan sekat yang membedakan kaya dan miskin serta status sosial lainnya. Tarian lulo juga dijadikan wadah untuk mempererat tali silaturahmi dan tidak jarang dijadikan sarana untuk mencari jodoh. Tradisi lulo juga memperlihatkan sikap persahabatan dan kegotongroyongan yang merupakan ciri khas masyarakat suku Tolaki.
Jika menelusuri awal munculnya kesenian lulo menurut Trisman, mungkin bisa dilihat dari bagaimana memaknai gerakan-gerakan lulo itu sendiri saat ini. Pada jaman dahulu, konon masyarakat suku Tolaki yang notabene mengonsumsi sagu dan beras dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya, sering menggunakan teknik menghentakkan kaki untuk menghaluskan rumbia menjadi sagu yang bisa dimakan dan menggunakan teknik yang sama dalam melepaskan bulir padi dari tangkainya untuk proses pembuatan beras. Kebiasaan ini kemudian sering dilakukan secara terus-menerus dan secara bergotongroyong agar prosesnya lebih cepat. Dari kebiasaan inilah masyarakat menemukan gerakan-gerakan yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah seni tari yang kini kita kenal dengan sebutan Tarian Lulo.
Saat ini Tarian Lulo sendiri telah mengalami proses penyesuaian dalam berbagai bentuk. Lulo yang dulunya hanya dilakukan dengan mengikuti irama alat musik tradisional seperti gong telah berubah dengan menggunakan alat musik elektornik electone atau organ.
Ditengah perkembangan peradaban yang terus melaju membentang membentuk simpul modernisasi jaman dengan segala hal yang dibuatnya memukau, lulo ternyata mampu bertahan dan tidak kehilangan pesona. Tidak hanya itu, Lulopun terus tumbuh dengan geliatnya yang kuat mengikuti lajur ngilu perkembangan massa. Hal ini dijelaskan Trisman, bahwa Lulo mampu bertahan karena upaya masyarakat dan pemerintah yang terus melakukan inovasi gerakan lulo. Lulo dikembangkan dengan adaptasi konsep dan variasi gerakan. Lima dasar gerakan lulo yaitu Lulo biasa, lulo pata-pata, Moleba (lompat-lompat), Pinetabe (penghormatan), dan lulo Hada (monyet) semakin disesuaikan dan dikreasi gerakannya agar tetap lebih up to date sesuai dengan perkembangan waktu. “Munculnya lulo kreasi akhir-akhir ini adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk membuat lulo tetap digemari dan disukai oleh masyarakat. Untuk itu, kami terus melakukan perubahan bahkan memasukan lulo dalam event-event tertentu untuk dikompetisikan”,. Jelas Trisman.
Melihat hal tersebut, tidak heran jika tarian lulo bisa tetap menjadi ikon budaya Sultra. Namun yang terpenting dari proses menjaga dan melestarikan tarian tradisional lulo adalah harapan bahwa tarian lulo merupakan cerminan masyarakat suku Tolaki yang cinta damai dan mengutamakan persahabatan dan persatuan dalam menjalankan aktifitas kesehariannya. Selalu bersatu, bergotongroyong dan saling tolong-menolong “samaturu, medulu ronga mepokoaso”.
tulisan ini sebelumnya telah dimuat di majalah exPO Sultra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar